Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah manusia termulia yang memiliki nasab yang mulia. Nasab beliau adalah sebagai berikut:
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قُصَيِّ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعبِ بْنِ لؤَيِّ بْنِ غالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعَدِّ بْنِ عَدْنَانَ
Muhammad bin ‘Abdillāh bin ‘Abdil Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ghālib bin Fihr bin Nadhar bin Kinānah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyās bin Mudhar bin Nizār bin Ma’ad bin Adnān. (Shahih Al-Bukhari 5/45)
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Qushay bin Kilab adalah kakek dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang mengumpulkan orang-orang Quraisy yang tercerai berai untuk merebut kekuasaan Ka’bah yang sebelumnya dikuasai oleh Bani Khuzā’ah.
Para ulama telah ijmak (sepakat) tentang nasab Nabi hingga Adnān. Adapun dari Adnān sampai ke Ismā’īl ‘alayhissalām maka terdapat khilaf di kalangan para ulama. Selain itu tidak ada hadits shahīh yang menjelaskan tentang hal ini.
- Ada yang berpendapat bahwa dari Adnān sampai Ismā’īl ‘alayhissalām ada 40 bapak atau kakek.
- Ada yang mengatakan bahwa jumlah kakek Adnān sampai Ismā’īl ‘alayhissalām adalah 7 atau 9 atau 10.
Pada intinya tidak ada kesepakatan di antara para ulama mengenai nasab beliau dari Adnān sampai Ismā’īl ‘alayhissalām. Adapun dari Ismā’īl ‘alayhissalām bin Ibrāhīm ‘alayhissalām sampai ke Ādam ‘alayhissalām lebih tidak pasti lagi. Sedangkan yang dipastikan oleh para ulama yaitu dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sampa Adnān.
Di dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam beliau bersabda :
إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى بَنِي هَاشِمٍ مِنْ قُرَيْشٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِم
“Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah memilih Bani Kinānah dari anak-anak Ismā’īl ‘alayhissalām dan dari keturunan Kinānah Allāh memilih suku Quraisy dan Allāh memilih dari suku Quraisy Bani Hāsyim dan Allāh memilih aku dari Bani Hāsyim.” (HR Muslim no 2276)
Hadits di atas menunjukkan betapa mulianya nasab Rasūlullāh ﷺ dimana beliau terlahir dari jalur nasab yang kesemuanya merupakan manusia terpilih.
Diantara kakek-kakek Nabi yang terkenal selain Qushay bin Kilab adalah ‘Abdul Muththalib. Dia semakin terkenal kedudukannya di kalangan orang-orang Arab karena dia bertemu langsung dengan Abrahah ketika meminta kembali 200 ekor untanya. Dan semakin terpandang ketika dia menemukan sumur zamzam.
Sumur zamzam muncul di zaman Nabi Ismā’īl ‘alayhissalām (sebagaimana telah dijelaskan di bab yang telah lalu). Kemudian sumur zamzam itu sempat menghilang selama beberapa abad sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, disebabkan oleh kemaksiatan yang mereka lakukan di Mekkah. Sehingga lama kelamaan, sumur zamzam kehilangan air dan dilupakan dimana posisinya.
Tatkala Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam akan dilahirkan, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla ingin mengembalikan zamzam tersebut yang tadinya surut dan tertutup agar keluar lagi airnya. Dan orang yang menemukan air zamzam tersebut adalah kakek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sendiri yaitu ‘Abdul Muththalib. Keterangan ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishāq dalam sirahnya dengan tashrih bissamā’ (penegasan mendengarnya), dan beliau (Ibnu Ishaq) adalah seorang yang shadūq. Menurut penilaian para ulama jarh wa ta’dil, apabila Ibnu Ishāq mengatakan “haddatsanii” (telah menyampaikan kepadaku) atau “sami’tu” (aku telah mendengar) maka sanadnya menjadi hasan. Adapun jika dia mengatakan “‘an” (dari) maka sanadnya lemah karena dia seorang mudallis. Di dalam riwayat ini, beliau menyampaikan secara tashrih bit tahdīts, dengan mengatakan “haddatsanii Yazīd bin Abī Habīb Al-Mishriy” hingga menyebutkan sanadnya kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Riwayat ini berasal dari kisah ‘Ali bin Abi Thālib yang mana beliau adalah putra dari Abū Thālib, sedangkan Abū Thālib adalah putra ‘Abdul Muththalib. Sehingga ‘Ali bin Abi Thālib menceritakan tentang kisah kakeknya. Riwayat ini bukanlah hadits tapi sekedar cerita tentang kisah kakeknya yaitu ‘Abdul Muththalib. Karena ‘Ali bin Abi Thālib sepupunya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Berikut ini kisahnya sebagaimana disebutkan dalam Sirah Ibnu Ishāq, ‘Abdul Muththalib bercerita:
“Suatu hari aku tidur di Hijr Ismā’il (dekat Ka’bah), kemudian ada yang mengatakan kepadaku ‘Gali-lah thayyibah.’ Aku bertanya: ‘Apa itu thayyibah?’ namun dia malah pergi. Keesokan harinya aku kembali tidur di tempat tersebut. Kemudian suara itu datang kembali dan mengatakan ‘Galilah barrah’, maka aku berkata ‘Apa itu barrah?’. Dia pun pergi tidak menjelaskan. Besoknya aku tidur lagi, lalu datang lagi suara itu, dan berkata ‘galilah al-madhnunah’, maka aku berkata,” Apa itu al-madhnuunah?”, lalu ia pun pergi. Keesokan harinya aku kembali tidur di tempat tidurku, kemudian ia kembali berkata ‘Galilah zamzam’, maka aku bertanya ‘Apa itu zamzam?’ Lalu ia berkata, “Zamzam adalah air yang tidak akan surut, dengan air tersebut kau akan memberi minum para jama’ah haji.” Kemudian disebutkan posisinya, yaitu di tempat sarang semut.
Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada burung gagak yang mematuk-matuk disitu. Dijelaskan namanya dan dijelaskan pula posisinya untuk digali. Karena mimpi yang ketiga lebih jelas maka keesokan harinya ‘Abdul Muththalib berangkat dengan membawa cangkulnya. Saat itu ‘Abdul Muththalib baru memiliki satu orang anak laki-laki yang bernama Al-Hārits. Mulailah ‘Abdul Muththalib menggali sumur tersebut, hingga mulai tampak tanda-tanda adanya sumur. Ketika kaum Quraisy mengetahui bahwa ‘Abdul Muththalib menemukan sumur, mereka mendatangi ‘Abdul Muththalib dan berkata: “Wahai ‘Abdul Muththalib, sumur tersebut adalah sumur kakek kita, Ismā’īl ‘alayhissalām. Kami juga punya hak terhadap sumur tersebut. Maka jadikanlah kami termasuk pemilik sumur tersebut. ‘Abdul Muththalib berkata: “Aku tidak mau, ini milikku. Sumur ini telah dikhususkan menjadi milikku, akan tetapi aku akan berbagi dengan kalian.” Mereka pun berkata: “Adillah terhadap kita, kalau tidak, kami tidak akan membiarkanmu menguasai sumur ini sampai kita berhakim kepada seseorang.” Maka ‘Abdul Muththalib dengan adilnya berkata: “Pilihlah siapa saja yang kita akan berhukum kepadanya.” Mereka berkata : “Ada seorang Perempuan dukun tetapi tempatnya jauh di negeri Syam sana.” Maka ‘Abdul Muththalib pun menyetujuinya. Berangkatlah ‘Abdul Muththalib bersama beberapa saudara dari Bani ‘Abdi Manaf, dengan sejumlah orang Quraisy lainnya, mereka berjalan bersama dalam dua grup rombongan. Grup pertama ‘Abdul Muththalib dengan Bani ‘Abdi Manaf dan grup kedua dari qabilah-qabilah lain yang menuntut untuk diberikan zamzam.
Saat mereka melewati padang pasir, tiba-tiba persediaan air milik ‘Abdul Muththalib habis, sementara perjalanan masih sangat jauh. Selama dalam perjalanan tersebut mereka tidak menemukan sumber mata air. Hal ini menyebabkan rombongan ‘Abdul Muththalib kehausan, sementara rombongan yang satu masih memiliki persediaan air yang mencukupi. Akhinya ‘Abdul Muththalib dan rombongannya meminta air ke rombongan satunya, tetapi mereka menolak untuk memberi air. Di saat masing-masing dari kelompok ‘Abdul Muththalib merasa akan mati, muncullah ide dalam benak ‘Abdul Muththalib. “Kita masing-masing akan menggali kuburan kita, daripada kita semua tergeletak tanpa ada yang menguburkan. Siapa yang mati terlebih dahulu kita akan kubur lalu kita tutup, begitupun yang mati berikutnya sampai terakhir hanya bersisa satu yang akan mati tanpa dikuburkan.” Akhirnya mereka mulai menggali kuburan masing-masing dan perbuatan ini disaksikan oleh rombongan satunya dan tanpa memperdulikannya.
Namun, setelah lubang-lubang kuburan tersebut tergali, ‘Abdul Muththalib lantas berubah pikiran dan mengatakan: “Perbuatan ini hanyalah sikap pasrah, kita harus berusaha.” Akhirnya mereka meninggalkan kuburan yang telah mereka gali. Mulailah ‘Abdul Muththalib naik ke atas untanya lalu tiba-tiba dari kaki untanya keluar mata air. Setelah itu ‘Abdul Muththalib mengambil air dan meminumnya kemudian memanggil grup sebelah yang tidak mau memberikan air kepada’ Abdul Muththalib dan akhirnya mereka pun datang dan ikut minum. Akhirnya grup sebelah sadar bahwasanya air zamzam itu adalah hak ‘Abdul Muththalib, buktinya adalah di tengah-tengah padang pasir Allāh keluarkan air khusus untuk ‘Abdul Muththalib. Akhirnya mereka tidak jadi pergi ke dukun yang berada di daerah Syam, tetapi mereka kembali ke Mekkah dan menyatakan bahwasanya air zamzam tersebut adalah milik ‘Abdul Muththalib.
Demikianlah kisah kakek Nabi, ‘Abdul Muththalib. Telah diterangkan sebelumnya bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dipilih oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan nasab yang sangat tinggi. Sebagaimana dikisahkan dalam Shahīh Bukhari, ketika Abū Sufyan masih dalam keadaan kafir, dia pernah bertemu dengan Kaisar Romawi Hieraklius. Hieraklus bertanya tentang Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan Abū Sufyan menjawabnya dengan jujur walaupun ia kafir. Diantara pertanyaan Hieraklius yang ditanyakan kepada Abū Sufyan adalah tentang nasab Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Hieraklius bertanya,
كَيْفَ نَسَبُهُ فِيكُمْ؟
“Bagaimana nasab Nabi tersebut?”
Maka kata Abū Sufyan:
هُوَ فِينَا ذُو نَسَبٍ
“Sesungguhnya Muhammad itu di kalangan kami adalah orang yang nasabnya tinggi.”
Setelah itu Hieraklius berkata:
فَكَذَلِكَ الرُّسُلُ تُبْعَثُ فِي نَسَبِ قَوْمِهَا
“Demikianlah para Rasul, mereka diutus oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan nasab yang tinggi diantara kaumnya.” (HR Al-Bukhari no 7)
Inilah hikmah yang disebutkan oleh para ulama kenapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dipilih dari kalangan nasab yang tinggi dan terbaik, sehingga tidak ada orang-orang Arab yang akan mencela nasab Nabi. Karena mereka sadar bahwa nasab mereka lebih rendah dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Bagaimana tidak? Kakek Nabi yaitu ‘Abdul Muththalib adalah pemilik zamzam dan pemimpin orang-orang Quraisy. Seandainya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus dari nasab yang rendah dari rakyat jelata yang tidak punya kedudukan, maka orang-orang akan menuduh bahwa Muhammad mengaku dirinya sebagai Nabi hanya untuk mencari kekuasaan dan penghormatan.
Sedangkan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak perlu mencari penghormatan, karena beliau sudah menjadi orang yang dihormati. Bahkan ketika berdakwah menyampaikan Islam, beliau malah direndahkan. Sehingga, tatkala Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus dari golongan berstrata tinggi, maka hal ini akan menutup pintu tuduhan bahwa Nabi memiliki tendensi tertentu. Oleh karena itu, Allāh menjadikan Nabi Muhammad (dan juga para nabi yang lain) bernasab tinggi, salah satu hikmahnya adalah apabila orang-orang bernaung di bawah Nabi, mereka tidak akan merasa rendah karena Nabi mereka memilik nasab yang tinggi.
Jakarta, 03-02-1439 H / 24-10-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com